Snouck Hurgronje menempati posisi tersendiri di kalangan jajaran orientalis yang meneliti Islam, baik dari sisi Islam sebagai agama maupun syari'at. Dia adalah seorang ilmuwan sekaligus politikus ulung yang Iahir pada 8 Februari 1857 di desa Osterhout yang terletak di Timur Laut kota Breda, Belanda.
Pendidikan dasarnya dilalui di kampungnya, kemudian melanjutkan Sekolah Menengah di Breda. Dia belajar bahasa Latin dan Yunani pada guru khusus, sebagai persiapan masuk universitas, dan berhasil menempuh ujian masuk universitas pada Juni 1874. Kemudian pada musim sedang tahun 1874 dia mendaftar ke Fakultas Teologi di Universitas Leiden, Belanda, dan pada Mei 1876 ia menempuh ujian kandidat dalam filologi klasik Yunani dan Latin, lalu pada April 1878 ia mengikuti ujian kandidat dalam Teologi. Namun, dia tetap menekuni Filologi, dan pada September 1878 berhasil menempuh ujian Filologi Semit. Pada bulan November 1879 dia berhasil memperoleh gelar doktor dengan risalah berjudul Musim Haji di Makah.
Dalam disertasinya itu, Snouck mengemukakan urgensi Haji dalam Islam dan berbagai acara seremonial serta ritualnya, akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa Haji dalam Islam merupakan peninggalan dari ajaran pagan (watsaniah) bangsa Arab.
Pada tahun ajaran 1880/1881, Snouck menghadiri perkuliahan Theodore Noldeke di Strassburg bersama koleganya, di antaranya adalah dua orientalis terkenal, C. Bezold, yang meninggal tahun 1922 di Hedelburg, dan R. Bunnow, yang meninggal tahun 1917 di Amerika. Sekembalinya dari Strassburg pada tahun 1881 ia ditugasi menjadi pengajar ilmu-ilmu Keislaman di Sekolah Calon Pegawai di Hindia Timur, Indonesia, yang bertempat di Leiden. Dari sini ia mulai menaruh perhatian pada masalah-masalah baru yang terjadi di negeri Islam.
Pada tahun 1884 Snouck mengadakan petualangan ke Jazirah Arab, dan menetap di Jeddah
sejak Agustus 1884 hingga Februari 1885, sebagai persiapan menuju Makah, yang merupakan tujuan utama dari petualangannya. Snouck sampai di Makah pada 22 Februari 1885 dengan menggunakan nama samaran Abdul Ghafar.
sejak Agustus 1884 hingga Februari 1885, sebagai persiapan menuju Makah, yang merupakan tujuan utama dari petualangannya. Snouck sampai di Makah pada 22 Februari 1885 dengan menggunakan nama samaran Abdul Ghafar.
Dia menetap di Makah selama enam bulan, dan menghasilkan karya berjudul Makah. Namun akhirnya, pada bulan Agustus, Snouck dipaksa keluar dari Makah oleh konsul Prancis. Dia pulang dengan empat ekor unta yang membawa barang-barang yang dikumpulkan selama mukim di sana. Yang disesalkan adalah bahwa perintah untuk meninggalkan Makah bertepatan dengan awal musim Haji. Padahal risalah doktor yang pernah ditulisnya berkaitan dengan musim Haji, meskipun hanya berdasarkan pada sumber-sumber literatur, manuskrip-manuskrip, dan pengalaman orang yang berziarah ke sana, bukan atas dasar pengalamannya sendiri.
Snouck memulai kegiatan mengajarnya di Leiden dan Delf di Sekolah Calon Pegawai di Indonesia. Dengan meninggalnya A.W.T. Joynboll tahun 1887, Snouck ditugasi menggantikan posisinya di Delf, namun Snouck lebih memilih mengajar bidang syari'at Islam di Universitas Leiden.
Sejak tahun 1889, Snouck memulai kegiatannya sebagai penasihat kolonial Belanda di Indonesia. Pertama kali ia menetap di Indonesia selama dua tahun, sebagai penasihat umum pemerintah kolonial Belanda dalam masalah Islam yang bertempat di Pulau Jawa.
Pada Maret 1891 ia menjadi penasihat dalam bahasa-bahasa Timur dan Syari'at Islam bagi pemerintah kolonial Belanda, dan menetap di Aceh sejak tahun 1891-1892. Di samping tugas utamanya sebagai penasihat pemerintah kolonial, Snouck juga mengumpulkan bahan-bahan untuk menyusun karya besarya tentang Aceh yang berjudul De Acehers.
Pada tahun-tahun berikutnya, Snouck meneliti ragam bahasa, penduduk, dan negeri-negeri yang terdapat di Indonesia sesuai dengan tugasnya sebagai penasihat pemerintah Belanda. Snouck juga yang menyusun undang-undang perkawinan khusus di kepulauan Indonesia. Karena mengetahui seluk-beluk masalah Aceh, dia juga diangkat sebagai penasehat di daerah Aceh. Selain itu, Snouck juga menjelajah Pulau Sumatera di pedalaman Gayo dan mempelajari penduduknya. Hasilnya, Snouck menguasai bahasa Melayu, di samping menguasai bahasa Arab dengan baik.
Ketika gurunya, De Goeje, meninggal pada tahun 1906, Snouck menggantikan posisinya di Universitas Leiden. Pada Januari 1907 Snouck ditugasi menjadi Penasihat pemerintah Kolonial Belanda Masalah Bahasa Arab dan Intern. Dengan begitu, perhatian Snouck terpecah dua, yaitu mengajar di Universitas Leiden dan sebagai penasihat pemerintah. Oleh karena itu, sejak tahun 1906 hingga meninggalnya, tahun 1936, Snouck tidak menghasilkan karya yang besar, hanya menulis makalah-makalah sederhana.
Dia meninggal di Leiden pada 26 Juni 1936. Karya ilmiah Snouck terbagi dalam dua jenis, yaitu karya dalam bentuk buku dan dalam bentuk makalah-makalah kecil. Di antara hasil karya besarnya ialah, tulisannya tentang kota Makah, terdiri atas dua bagian, bagian pertama terbit di kota Den Hag pada tahun 1888 dan bagian kedua juga terbit di kota yang sama pada tahun 1889. Kemudian karyanya yang berjudul De Atjehers, dalam dua bagian, terbit di Batavia (sekarang Jakarta) dan Leiden (cet I, 1893) dan (cet II. 1894); Daerah Gayo dan Penduduknya (Batavia,1903). Bagian kedua dari buku Makah, dan bagian pertama dan kedua dari buku De Atjehers, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Karya-karyanya dalam bentuk makalah adalah “Munculnya Islam', Perkembangan Agama Islam", "Perkembangan Politik Islam", dan "Islam dan Pemikiran Modern". Semua makalah itu telah dikumpulkan oleh muridnya, A.J. Wensinck, dengan judul Bunga Rampai dari Tulisan Christian Snouck Hurgronje dalam enam jilid, jilid keempat terdiri atas empat bagian (Bonn dan Leiden, 1923 -1927).
Sistematika kumpulan tulisan itu adalah sebagai berikut; jilid pertama tentang Islam dan sejarahnya, jilid kedua tentang syari'at Islam, jilid ketiga tentang Jazirah Arab dan Turki, jilid keempat tentang Islam di Indonesia, jilid kelima tentang bahasa dan sastra, dan jilid keenam tentang kritik buku, dan tulisan-tulisan lain dan daftar indeks, serta rujukan-rujukan.
KEJAHATAN SNOUCK HURGRONJE: (1857-1936 M)
Seorang peneliti Belanda kontemporer, Koenings Veld, menjelaskan bahwa realitas budaya di negerinya membawa pengaruh besar terhadap kejiwaan dan sikap Snouck selanjutnya. Pada saat itu, para ahli perbandingan agama dan ahli perbandingan sejarah sangat dipengaruhi oleh Teori Evolusi Darwin. Hal ini membawa konsekuensi khusus dalam teori peradaban di kalangan cendekiawan Barat bahwa peradaban Eropa dan Kristen adalah puncak peradaban dunia. Sementara itu, Islam yang datang belakangan, menurut mereka, adalah upaya untuk memutus perkembangan peradaban ini.
Bagi kalangan Nasrani, kenyataan ini dianggap hukuman atas dosa-dosa mereka. Ringkasnya, agama dan peradaban Eropa adalah lebih tinggi dan
lebih baik dibanding agama dan peradaban Timur. Teori peradaban ini berpengaruh besar terhadap sikap dan pemikiran Snouck selanjutnya.
Pada tahun 1876, saat menjadi mahasiswa di Leiden, Snouck pernah berkata, "Adalah kewajiban kita untuk membantu penduduk negeri jajahan -maksudnya warga Muslim Indonesia - agar terbebas dari Islam." Sejak itu, sikap dan pandangan Snouck terhadap Islam tidak pernah berubah.Snouck pernah mengajar di Institut Leiden dan Delf, yaitu lembaga yang memberikan pelatihan bagi warga Belanda sebelum ditugaskan di Indonesia. Saat itu, Snouck belum pernah datang ke Indonesia, namun ia mulai aktif dalam masalah-maasalah penjajahan Belanda. Pada saat yang sama, Perang Aceh mulai bergolak.
Saat tinggal di Jedah, ia berkenalan dengan dua orang Indonesia yaitu Raden Abu Bakar Jayadiningrat dan Haji Hasan Musthafa. Dari keduanya Snouck belajar bahasa Melayu dan mulai bergaul dengan para jamaah haji dari Indonesia untuk mendapatkan informasi yang ia butuhkan.
Pada saat itu pula, ia menyatakan keislamannya dan mengucapkan syahadat di depan khalayak dengan memakai nama Ahdul Ghaffar. Seorang Indonesia berkirim surat kepada Snouck yang isinya menyebutkan "Karena Anda telah menyatakan masuk Islam di hadapan orang banyak dan ulama-ulama Mekah telah mengakui keislaman Anda." Seluruh aktivitas Snouck selama di Saudi tercatat dalam dokumen-dokumen di Universitas Leiden, Belanda. Snouck menetap di Mekah selama enam bulan dan disambut hangat oleh seorang ulama besar Mekah, yaitu Waliyul Hijaz. Ia lalu kembali ke negaranya pada tahun 1885. Penyambutan hangat seperti ini sering juga dilakukan oleh umat/tokoh di Indonesia terhadap para mantan non muslim, bahkan mendadak menjadi Ustad/Ustadzah yang kondang. Tidak sedikit dengan ilmu yang seadanya menerbitkan tulisan-tulisan yang membahas tentang keislaman terkait dengan masalah aqidah, seperti layaknya seorang ulama. Kadang namanya lebih dikenal dari ustadz/ustadzah yang sebenarnya.
Selama di Saudi, Snouck memperoleh data-data penting dan strategis bagi kepentingan pemerintah penjajah. Informasi itu ia dapatkan dengan mudah karena tokoh-tokoh Indonesia yang ada di sana sudah menganggapnya sebagai saudara seagama kesempatan ini digunakan oleh Snauck untuk memperkuat hubungan dengan tokoh-tokoh yang berasal dari Aceh yang menetap di negeri Hijaz saat itu.
Snouck kemudian menawarkan diri kepada pemerintah penjajah Belanda untuk ditugaskan di Aceh. Saat itu, Perang Aceh dan Belanda mulai berkecamuk. Snouck masih terus melakukan surat menyurat dengan ulama asal Aceh di Mekah.
Snouck tiba di Jakarta pada tahun 1889. Jendral Beraker Hourdec dengan hidden missionnya menyiapkan tokoh-tokoh Islam untuk dapat membantunya. Tentunya semua tokoh Islam tidak menyadari misi terselubung Snouck ini. Ia juga dibantu sahabat lamanya ketika di Mekah, Haji Hasan Musthafa yang diberi posisi sebagai penasihat untuk wilayah Jawa Barat. Karena kelihaiannya tokoh Islam ini juga tidak menyadari Snouck yang sebenarnya. Snouck sendiri memegang jabatan sebagai penasihat resmi pemerintah penjajah Belanda dalam bidang bahasa Timur dan Fikih Islam. Jabatan ini masih dipegangnya hingga setelah kembali ke Belanda pada tahun 1906.
Misi utama Snouck adalah "membersihkan" Aceh. Setelah melakukan studi mendalam tentang semua yang terkait dengan masyarakat ini, Snouck menulis laporan panjang yang berjudul Kejahatan-Kejahatan Aceh. Laporan ini kemudian menjadi acuan dan dasar kebijakan politik dan militer Belanda dalam menghadapai masalah Aceh.
Pada bagian pertama, Snouck menjelaskan tentang kultur masyarakat Aceh, peran Islam, ulama, dan peran tokoh pemimpinnya. la menegaskan pada bagian ini bahwa yang berada di belakang perang dahsyat Aceh dengan Belanda adalah para ulama. Sedangkan tokoh-tokoh formalnya bisa diajak damai dan dijadikan sekutu karena mereka hanya memikirkan bisnisnya.
Snouck menegaskan bahwa Islam harus dianggap sebagai faktor negatif karena dialah yang menimbulkan semangat fanatisme agama di kalangan
Muslimin. Pada saat yang sama, Islam membangkitkan rasa kebencian dan
permusuhan rakyat Aceh terhadap Belanda. Jika dimungkinkan "pembersihan" ulama dari tengah masyarakat, Islam takkan lagi punya kekuatan di Aceh. Setelah itu, para tokoh-tokoh adat bisa menguasai dengan mudah.
Bagian kedua laporan ini adalah usulan strategis soal militer. Snouck mengusulkan dilakukannya operasi militer di desa-desa di Aceh untuk melumpuhkan perlawanan rakyat yang menjadi sumber kekuatan ulama. Bila ini berhasil, terbuka peluang untuk membangun kerjasama dengan pemimpin lokal. Perlu disebut di sini bahwa Snouck didukung oleh jaringan intelijen/mata-mata dari kalangan pribumi. Cara yang ditempuh sama dengan yang dilakukannya di Saudi dulu, yaitu membangun hubungan dan melakukan kontak dengan warga setempat untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Orang-orang yang membela dan membantunya baik dari tokoh/aktifis/umat muslim berasumsi bahwa Snouck saat itu adalah seorang saudara seagama yang sedang berjuang membela Islam.
Dalam suatu korespondensinya dengan ulama Jawa, Snouck menerima surat yang bertuliskan "Wahai Fadhilah Syekh Allamah Maulana Abdul Ghaffar, sang mufti Negeri Jawa." Lebih aneh lagi, Snouck menikah dengan putri seorang kepala daerah Ciamis, Jawa Barat pada tahun 1890. Dari pernikahan ini ia memperoleh empat anak: Salamah, Umar, Aminah, dan Ibrahim.
Akhir abad 19 ia menikah lagi dengan Siti Saidah, putri Khalifah Apo, seorang ulama besar di Bandung. Anak dari pernikahan ini bernama Raden Yusuf. Luar biasa memang, orang disekelilingnya, baik mertua, istri, anak-anaknya dan orang-orang disekeliling yang lainnya, PASTI semua orang-orang yang ada dekat denganya menyatakan dengan penilaian mereka sehari-hari, mustahil Snouck hanya berpura-pura masuk islam. Jika saat ini ada pihak yang menyatakan lain, maka sudah pasti akan jadi musuh bersama orang islam lainnya.
Snouck melakukan surat menyurat dengan gurunya Theodor Noeldekhe, seorang orientalis Jerman terkenal. Dalam suratnya, Snouck menegaskan bahwa keislaman dan semua tindakannya adalah permainan untuk menipu orang
Indonesia demi mendapatkan informasi. la menulis, "Saya masuk Islam hanya pura-pura. Inilah satu-satunya jalan agar saya bisa diterima masyarakat Indonesia yang fanatik."
Temuan lain Koenings Veld dalam surat Snouck mengungkap bahwa ia meragukan adanya Tuhan. Ini terungkap dari surat yang ia tulis pada pendeta Protestan terkenal, Herman Parfink, yang berisi, "Anda termasuk orang yang percaya kepada Tuhan. Saya sendiri ragu pada segala sesuatu."
Dr. Veld berkomentar tentang aktivitas Snouck sebagai berikut. "la berlindung di balik nama 'penelitian ilmiah dalam melakukan aktivitas spionase, demi kepentingan penjajah." Veld yang merupakan peneliti Belanda yang secara khusus mengkaji biografi Snouck menegaskan bahwa dalam studinya terhadap masyarakat Aceh, Snouck menulis laporan ganda. la menuliskan dua buku tentang Aceh dengan satu judul, namun dengan isi yang bertolak belakang.
Dari laporan ini, Snouck hidup di tengah masyarakat Aceh selama tiga puluh tiga bulan dan ia pura-pura masuk Islam. Dalam rentang waktu itu, ia menyaksikan budaya dan watak masyarakat Aceh sekaligus memantau peristiwa yang terjadi. Semua aktivitasnya tak lebih dari pekerjaan spionase dengan mengamati dan mencatat.
Sebagai hasilnya ia menulis dua buku: pertama, berjudul Aceh, memuat laporan ilmiah tentang karakteristik masyarakat Aceh dan buku ini diterbitkan. Buku ini bernada membela islam dan rakyat aceh. Akan tetapi, pada saat yang sama, ia juga menulis laporan rahasia untuk pemerintah Belanda berjudul "Kejahatan, Aceh." Buku ini memuat alasan-alasan memerangi rakyat Aceh.
Dua buku ini bertolak belakang dari sisi materi dan prinsipnya. Buku ini menggambarkan sikap Snouck yang sebenarnya. Di dalamnya, Snouck mencela dan merendahkan masyarakat dan agama rakyat Aceh. Laporan ini bisa disebut hanya berisi cacian dan celaan sebagai provokasi penjajah untuk memerangi rakyat Aceh.
Komentar tentang aktivitas spionase Snouck Hurgronje pada masa penjajahan juga muncul dari cendekiawan putra Aceh, yaitu Prof. A. Hasymi. la menuIis, "Belanda mulai memerangi Aceh dalam upaya menguasai daerah jajahannya sejak 1873. Perang berlangsung selama dua puluh tahun, namun tentara Belanda tak berhasil menaklukkan rakyat Aceh. Belanda menghadapi perlawanan rakyat yang sengit dalam tiap pertempuran. Rahasia perlawanan ini adalah padunya ulama dan pemimpin setempat. Snouck sangat paham hal ini dan melihat Islam sebagai penggerak paling kuat dalam jiwa kaum Muslim."
Snouck ingin menyerang dan meruntuhkan perlawanan ini dari akarnya. la belajar Islam, datang ke Mekah, dan pura-pura masuk Islam. Bahkan, untuk tujuan busuk ini, Snouck memakai nama Abdul Ghaffar. Dengan cara ini, Snouck bisa mengenal ulama-ulama Aceh yang berada di Mekah, seperti Syekh AI Habib Abdul Rahman Azh Zhahir. la membangun hubungan erat dengan orang-orang Indonesia di sana, khususnya asal Aceh, sehingga tak seorang pun dari mereka yang membayangkan ia adalah seorang musuh lslam yang sangat
berbahaya. Snouck bahkan pernah berjanji akan membantu rakyat Aceh dalam perang melawan penjajah Belanda (membela islam).
Kedatangannya ke Aceh pada tahun 1893 disambut hangat oleh kaum Muslimin. Ia dianggap sebagai bagian dari mereka karena di mana pun kaum Muslimin bersaudara. Hal ini makin diperkuat dengan kemampuan Snouck yang bisa bicara bahasa Arab dengan fasih. Mereka membantu segala keperluan Snouck dan memuliakannya sebagai tamu Muslim yang hidup di tengah keluarganya sendiri.
Bahkan, penduduk daerah Ulee Lheue membantunya dalam mempelajari bahasa lokal agar ia mudah berhubungan dengan warga setempat. Dari sinilah Snouck mulai bekerja diam-diam dengan melakukan kajian dan menulis laporan demi kepentingan penjajah Belanda.
Setelah kajian mendalam terhadap masyarakat Aceh, Snouck menemukan bahwa rahasia kekuatan adalah persatuan ulama dan tokoh pemimpin masyarakat. Inilah yang dihancurkan oleh Snouck dengan memecah barisan umat dan menumbuhkan pertentangan antara dua pihak yang berpengaruh ini. la menjalankan politik devide at impera, pecah dan kuasai. Inilah yang membuat Belanda sanggup menundukkan rakyat Aceh.
Politikus dan Sejarawan Indonesia, Ridwan Saidi dalam bukunya ‘Fakta dan Data Yahudi di Indonesia’ memberikan komentar bahwa apa yang dilakukan oleh Snouck sangat licik, ia berpura-pura masuk Islam, atau dalam istilah lain dikatakan ia melakukan IZHARUL ISLAM, yaitu suatu sikap yang diperagakan oleh orientalis abad ke-19 di negeri-negeri jajahan. Cara ini amat ampuh dalam upaya mengorek kelemahan Islam yang menjadi agama mayoritas di tanah jajahan tersebut. Dengan berpura-pura Islam, bersyahadat, shalat, bahkan ke Mekkah, kemudian menjadi Mufti tentang masalah Islam, maka hubungan dengan umat Islam dapat dibina dengan akrab.
sebagai muallaf, tetapi ternyata hal tersebut hanya sebagai kedok untuk
melanggengkan misinya. Mulai dari maksud sederhana ingin mendapatkan hak
zakat dan belas kasihan orang, sampai kepada kepentingan besar dalam misi
memurtadkan Muslimin dari agamanya.
Kasus populer di zaman ini beredarnya Qur'an Van Der Plas di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan (daerah Hulu Sungai). Harian Kalimantan Berjuang (23 Maret 1950) memberitakan keterangan Kyai Widjaja yang melaporkan beredarnya Qur'an palsu yang dibagikan oleh Van Der Plas. Van Der Plas adalah kuasa pemerintah Belanda yang ditempatkan di "daerah pendudukan". Qur'an
palsu itu diberikan kepada para ulama, dan ternyata setelah diteliti isinya mengandung dongeng Israiliyat. Sudah barang tentu hal ini menghebohkan. Diduga Van Der Plas sengaja melakukan ini untuk mengacaukan pemahaman umat terhadap agamanya.
Pola Van Der Plas memang terlalu kotor, dibanding dengan pola yang dijalankan Snouck Hurgronje. Yang belakangan ini menjalankan misi spionasenya dengan berkedok penelitian ilmiah.
Agar memudahkan membina akses dengan informan Muslim, Snouck ber-Izharul Islam. Ternyata, menurut penelitian Dr. Van KoningsveId, Snouck membuat laporan penelitian ganda, misalnya tentang Aceh, Snouck menulis dua jilid buku tebal De Atjehers berisi laporan ilmiah mengenai masyarakat Aceh, dan buku ini dipublikasikan. Tetapi Snouck juga menulis Verslag Aceh sebagai laporan kepada Pemerintah Belanda tentang alasan mengapa Aceh harus diperangi. Verslag Aceh berbeda dengan The Atjehers.
Pendirian Snouck yang paling asli tentang Islam terdapat dalam Verslag Aceh. Di situ Snouck mencibiri orang Aceh dan Islam. Celaan terhadap Aeeh dan Islam mewarnai laporannya itu sehingga memotivasi pemerintah Belanda untuk meneruskan perang menaklukkan Aceh.
Pada tahun 1906, Snouck Hurgronje kembali ke negeri Belanda setelah bertugas di Indonesia selama 17 tahun. Perpisahan dengan keluarga, menurut sumber terdekat penulis, berlangsung secara mengharukan, tentunya dengan tetap memiliki paradigma, papahku adalah sosok yang telah membela islam.
Keempat anaknya yang sudah besar diajaknya ke Stasiun Gambir. Sambil melihat-lihat peninggalan masa lalu, Snouck berkata kepada anaknya, "Anak-anakku,, papa akan kembali ke negeri Belanda buat selamanya, keperluan kamu akan papa kirim dari negeri Belanda, dan kamu semua akan papa ikutkan dalam asuransi jiwa. Bila besar kelak, janganlah kamu menggunakan nama fam Hurgronje, itu mungkin dampaknya tidak bagus buat kamu."
Keempat anaknya itu terperangah belaka. Hanya air mata yang meleleh di pipi disaksikan area-area yang membisu. Snouck membujang di Belanda selama empat tahun. Pada tahun 1900 ia kawin lagi dengan seorang gadis Belanda beragama Roma Katolik, Maria Otter. Tahun 1922 ia dikaruniai seorang puteriyang diberi nama Christien. Christien rupanya menjadi puteri tunggal dari isteri Belanda satu-satunya itu. Menurut sumber-sumber penulis di negeri Belanda, ternyata Christien tidak pernah dididik secara Islam. Ia tumbuh dan berkembang sebagai gadis Katolik, sampai kelak ia bertemu jodoh dengan
seorang Belanda mantan karyawan De Javasche Bank. Pernikahannya juga
berlangsung secara Katolik.
Menjelang wafatnya, Snouck Hurgronje selama tiga bulan terbaring saja di kamar tidurnya di Leiden, Belanda. Ia tidak bercakap-cakap, sampai suatu hari ia memanggil isteri dan anaknya. Seraya terbaring di tempat tidur, Snouck
meminta agar testamen yang telah dibuatnya diubah. Ia menginginkan agar anak-anaknya yang berada di Indonesia diberi bagian warisan. Konon, Christien terlongong-longong, dan baru pada detik itu ia mengetahui bahwa ia mempunyai saudara seayah di Indonesia. Snouck dimakamkan satu lahat
dengan ibu kandungnya di TPU- Leiden.
Itulah seorang intelijen sebenarnya, kadang sampai masuk liang lahatpun, istri/suami, anak-anaknya dan orang-orang disekelilingnya tidak akan menyangka sosok yang sebenarnya yang mereka cintai tersebut. Seorang intelijen sejati akan meletakan kepentingan misinya dibandingkan kepentingan anak dan keluarganya.
Source : www.arimateapusat.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment
Kepada Pengunjung jangan lupa komentarnya yah ...
Semoga bermanfaat dan terima kasih telah berkunjung di blog sederhana ini.. :)