Entah kenapa, hari ini diriku ingin cepa2 berangkat ke
tempat kerja, padahal jam dinding baru menunjukkan pukul 6.45 wita. Tak seperti
biasanya diriku ingin berangkat sepagi ini, dengan kebiasaan baru berangkat ke
tempat kerja pada pukul 7.20 wita.
Tak ada firasat apapun, diriku melabuh motor mepro melintasi
rute ke Sungai Baring, lewat rute titian Palimbangan. Dengan santai aku mengendarai
motor ini, bahkan di titian pun aku tak tergesa-gesa, seperti kebiasaanku yang
tak pernah ngebut jika di wilayah terpencil.
Setelah titian terlewati, diriku mulai memasuki wilayah di
pinggir sungai yang biasa dilintasi, yaitu desa Palimbangan Gusti. Disinilah awal
mula tragedi ini.
Di depan langgar, dekat kumpulan anak2 perempuan berpakaian
seragam tsanawiyah, ada seorang nenek menyambangiku agar bisa memboncengi
seorang anak perempuan berpakaian seragam tsanawiyah. Nenek ini meminta agar
bisa membawanya bersamaku karena tidak bisa berkendaraan sendiri, dan teman2nya
tidak bisa memboncengnya.
Buatku tidak masalah, apalagi motorku sudah tidak lagi kecil
seperti dulu. Diriku sendiri pun juga menawari karena dia agak ragu. Disini ketika
melihat dia ragu untuk berboncengan denganku, diriku pun ragu aman kah
membonceng dia.
Dengan sedikit terpaksa dia pun naik ke motorku. Setelah naik,
aku pun bilang “bapingkut” atau dalam bahasa indonesianya pegangan. Kata ini
diucapkan seperti kebiasaanku ketika motorku akan kujalankan.
Ternyata, dia tidak mengerti dari apa yang aku ucapkan. Setelah
beberapa ratus meter, kami menaiki jembatan yang lumayan curam. Motorku agak
oleng, aku pun bingung kenap ini, tapi masih belum bisa menebak. Ketika motornya
ku geber diatas tanah merah, motornya semakin susah dikendalikan. Pas ketika
aku ingin menghindari lumpur lembab, anak tadi sepertinya terlepas pijakan dan
terjun bebas ke lumpur tersebut.
Spontan saja aku bingung, lho kq bisa ? seumur2 tak pernah
aku membonceng orang sampe terjun bebas kayak gini. Kebingungan mulai buyar
dengan kegugupan, bagaimana ini. Kutanya apakah sakit, dengan lirih dia
menjawab, sakit.. pikiranku semakin kalut. Ya udah,, kuajak pulang saja. Kutanya
dia apakah mau kuantar pulang,, dia mengangguk.
Kuantarlah dia pulang, setelah sampai dia ke temapt dimana
dia mulai berboncengan tadi, dia minta diturunkan. Kutanya dimana rumahnya, dia
menggeleng. Aku tak mungkin membiarkan begitu saja, pasti masalahnya akan
panjang. Pikirku aku akan bertamu kerumahnya untuk meminta maaf dan menjelaskan
kejadian sebenarnya.
Setelah mengetahui rumahnya, aku kemudian mendatangi rumah
tersebut. Hatiku lumayan kecut, karena orang-orang di sekitarku yang melihat
pakaian anak tersebut belepotan lumpur. Tapi
kutetapkan hati kerumahnya agar bisa menjelaskan secara langsung.
Setelah mengetuk rumah dan mengucap salam, aku disambut oleh
neneknya yang asli (dalam hatiku, berarti nenek tadi ? duh,, pasti semakin
runyam ini). Aku kemudian langsung menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Neneknya
pun langsung paham. Kemudian masuk pamannya, dan langsung menjenguk anak
tersebut, dan setelah keluar, langsung berucap ah tidak apa2. Dan kami pun
berbincang dengan rasa kekeluargaan.
Nenek pun bercerita bahwa anak tersebut datang dari
Sumatera. Ayahnya asli sana dan mamanya(anak nenek tersebut) di ajak tinggal
kesana. Mereka kembali baru beberapa ahri dan anak tersebut merupakan pindahan.
Mereka kembali ke sini karena seluruh keluarga ayahnya meninggal sehingga
mereka kembali.
Pantas saja kataku pas kuucapkan kata “bapingkut”
kemungkinan dia tidak memahaminya. Tak lama berbincang, mamanya pun datang dan
kami semakin berbincang. Logatnya memang pakai bahasa Indonesia. Yah lumayan,
melatih kembali bahasa Indonesiaku, hehe.
Tak ingin berlama2 dan larut dalam keluarga tersebut, aku
pun mohon pamit agar aku kembali melanjutkan ke tempat kerja. Aku pun keluar rumah dengan rasa lega. Kulihat, banyak
orang-orang berkumpul diluar, aku agak gugup, tapi berhubung aku niat datang
baik2, jadi tidak lagi masalah buatku. Setelah memutar motorku, kulihat
ternyata pijakan untuk kaki boncengan tidak diturunkan. Pastas saja, tadi agak
oleng, ternyata kakinya tidak diam tapi bergerak2. Untung saja pada saat di
jembatan tadi tidak terjatuh pikirku.
Aku kemudian memacu motorku antara perasaan bersalah dan
tidak. Bersalah karena telah menajatuhkan dia, tapi hati kecilku juga berkata
bahwa kenapa jadi aku yang disalahkan ? toh bukan aku yang menawarkan jasa
membonceng ? tapi biarlah, aku hanya berharap, nenek yang menyinggahkanku bisa
menjelaskan kejadian sebenarnya.
Ditulis untuk diingat, dibaca untuk diketahui dan dikenang
bahwa masa lalu adalah pelajaran pada masa kini untuk menghadapi masa yang akan
datang
untung kda ttajun djembatan to, he
ReplyDeleteya am,, mun tidak rugi wan sapida muturnya.. hehe
Delete